Rekam Jejak di Media Sosial (Recordability)
Recordability
Kemajuan teknologi saat ini tak bisa lepas dari kehidupan
sehari-hari kita. Termasuk diantaranya adalah ramainya media sosial. Apapun yang
ada di keseharian kita, baik foto, info, ataupun peristiwa, bisa diunggah di
media sosial dengan sangat mudah. Bisa dibilang, media sosial sudah menjadi
bagian dari keseharian dan gaya hidup kita.
Hampir semua orang bermain di media sosial saat ini. Ada yang
menggunakan media sosial untuk curhat ataupun berbagi tulisan yang dibacanya. Walau
sudah menjadi hak kita ingin mengisi apapun di akun media sosial kita sendiri,
tapi baiknya kita tetap membatasi diri untuk membagikan sesuatu pada akun media
sosial karena bukan hanya diri kita sendiri yang dapat membaca, teman di media
sosial pun dapat membaca juga. Teknologi memang bagai pisau bermata dua, banyak
memberi keuntungan namun tak jarang juga membawa kerugian. Bisa-bisa kita akan
menerima dampak negatif yang tidak mengenakan jika kita terlalu berlebihan
menggunakan atau membagikan sebuah tautan, seperti:
·
Semakin Emosi. Ketika
kita mengunggah tautan atau curhatan (status) yang sedang emosi dengan
seseorang atau sesuatu, bisa jadi respon yang didapat dari teman-teman media
sosial bukannya menenangkan, namun malah membuat kita semakin emosi. Karena perlu
diketahui, setiap orang belum tentu mempunyai pemikiran sama dengan kita.
·
Membuka Kelemahan Sendiri. Setiap
kali ada masalah, kita langsung curhat di media sosial. Ingat, bukan hanya kita
saja yang memiliki masalah, semua orang juga mempunyai masalah dalam hidupnya. Hanya
saja curhat dengan sahabat, keluarga, akan menjadi pilihan yang lebih bijak
daripada mengumbarnya di media sosial. Karena siapa saja dapat mengakses media
sosial kita, itu berarti kita membuka kelemahan atau membuka permasalahan kita
dengan publik.
·
Menimbulkan Salah Paham. Penilaian
kita terhadap seseorang ataupun sesuatu juga dapat menimbulkan salah paham atau
argumentasi dengan orang lain yang memiliki pola pikir berbeda dengan kita. Misalnya,
saat kita membicarakan hal sensitif seperti Politik atau SARA. Pro dan kontra
pasti ada.
Mengapa Urusan
Personal Dibawa ke Media Sosial?
Aksi-aksi
meluapkan emosi di media sosial didorong oleh sejumlah alasan. Dilansir oleh The Times of India, perasaan terluka
atau kemarahan seseorang mendorong orang-orang untuk menuliskan cerita personal
mereka di internet. Saat kesabaran orang tandas, platform-platform media sosial
hadir sebagai medium yang melanggengkan emosi negatif. Sebuah penelitian di
Cina juga menyatakan, kemarahan lebih cepat disebarkan di dunia Online dibanding emosi lain seperti
kesedihan atau kegembiraan.
Pemilihan media sosial sebagai diary masa kini juga dikarenakan
orang-orang bisa sepuasnya membeberkan hal-hal yang menyinggung mereka tanpa
perlu menyebutkan pihak bersangkutan alih-alih megonfrontasi langsung. Ada konsekuensi-konsekuensi
tertentu yang harus dihadapi begitu meluapkan unek-unek di depan muka pihak bersangkutan, inilah yang ingin
dihindari si penggemar curhat di media sosial.
Efek Samping
Mengunggah Curhatan di Media Sosial
Orang yang sedang mengalami emosi-emosi tertentu. Menyalurkan
isi kepala dan perasaan memang menjadi jalan yang positif bagi kesehatan jiwa. Akan
tetapi, hal ini malah menjelma bumerang saat reaksi khalayak luas yang membaca
status berisi unek-unek mereka tidak
seperti yang diharapkan.
Saat yang menghampiri adalah hujatan atau kritikan, para
pengunggah status curhatan akan menghadapi konflik internal yang semakin besar,
sudah jatuh, tertimpa tangga. Masalah pribadi yang ada belum terselesaikan,
mereka harus siap menghadapi masalah baru yaitu penghakiman para pengikutnya
atau bahkan publik luas.
Mengungkapkan kemarahan di media sosial sebenarnya
juga tidak akan membuat orang merasa lebih baik pula. Dalam PBS, tercatat
pendapat Ryan Martin, profesor psikologi di University of Wisconsin-Green Bay,
yang mengamati efek pelepasan emosi di situs-situs yang diperuntukkan bagi
pengguna internet yang ingin melontarkan unek-unek.
Ia menyatakan, pelepasan emosi di sana hanya berefek
sementara. Alih-alih emosi mereda, orang yang membaca kembali
ekspresi kemarahannya yang diunggah di internet cenderung makin marah.
Sementara menurut John Suler, pakar psikologi dari
Rider University, keluhan-keluhan yang dilontarkan di dunia online bisa berujung pada emosi negatif
lain di kemudian hari seperti rasa malu dan bersalah. “Mengapa saya dulu
menulis status marah dan tidak terkendali seperti ini, ya?” adalah pikiran yang
mungkin muncul beberapa waktu setelah konflik yang dihadapi mereda.
KASUS
Dinda - Mengecam
ibu hamil
Seorang perempuan bernama Dinda, melalui akun Path-nya
menumpahkan kekeselannya tentang seorang ibu hamil yang menginginkan bagku
prioritas saat di KRL. Ungkapan kesal Dinda di Path lalu menyebar di jejaring
sosial.
Kesal dengan ulah Dinda, para netter mem-bully Dinda di media sosial dan forom-forum dunia maya.
Mereka meramaikan linimasa dengan membuat gambar meme dengan kalimat-kalimat
yang humor. Mulai dari sindiran yang menyediakan kursi khusus untuk Dinda,
gerbong perempuan yang tidak boleh dinaiki Dinda, sampai lagu Dinda-nya Katon
Bagaskara yang dikaitkan dengan Dinda sang pengecam ibu hamil. Namun
Dinda akhirnya meminta maaf terkait ucapan di statusnya itu.
Saat rekam jejak pernah marah-marah atau mengeluhkan
kehidupan di media sosial menyebar, bukan mustahil pula rekan-rekan dan publik
mengecap kita dengan label. Itu adalah bukti bahwa melampiaskan emosi di media
sosial bukan perilaku bijak karena kita hanya mengumbar masalah dan
menjadikannya konsumsi publik.
Memang sih itu hak kita sepenuhnya untuk menggunakan
akun media sosial sendiri. Walau begitu, tetaplah berhati-hati, status kita
yang menyinggung orang lain juga bisa mudah tersebar di dunia maya hanya karena
sebuah postingan di media sosial. Karena itu, bijaklah dalam menggunakan media
sosial. Isilah akun mendia sosial kita dengan hal-hal positif yang bisa
mendatangkan manfaat baik bagi kita maupun orang lain. Dengan begitu,
orang-orang yang berteman dengan kita, bisa tetap nyaman berteman dan menjalin
hubungan dengan kita baik di media sosial maupun di dunia nyata. Be wise!
Referensi:
Febrian, Tammy. (08
Desember 2016). Dampak negatif curhat di
sosial media. Diperoleh 30 April 2018, dari http://smartmama.com/2016/12/08/dampak-negatif-curhat-di-sosial-media/
Kirnandita, Patresia.
(20 Desember 2017). Mengapa orang curhat di media sosial. Diperoleh 30 April 2018, dari https://tirto.id/mengapa-orang-curhat-di-media-sosial-cB2t
Lukito,
Febrian. (12 Januari 2017) Hati-hati
bermedia sosial tulisanmu harimamumu. Diperoleh 30 April 2018, dari https://trivia.id/post/hati-hati-bermedia-sosial-tulisanmu-harimaumu
Ningrum,
W. D. (04 September 2014) Orang ini di
bully di media sosial karena status. Diperoleh 30 April 2018, dari https://m.liputan6.com/tekno/read/2100245/5-orang-ini-di-bully-di-media-sosial-karena-status
Comments
Post a Comment